Senin, 31 Oktober 2011

Kata-kata Terakhir Steve Jobs di Hadapan Keluarganya

   
Kata-kata Terakhir Steve Jobs di Hadapan KeluarganyaJAKARTA - Mona Simpson, saudara perempuan Steve Jobs, membacakan kidung pepujian untuk pendiri Apple dalam upacara penghormatan jenazah sang investor besar itu pada 16 Oktober lalu di Universitas Stanford. Mona Simpson adalah juga novelis dan profesor pada Universitas California di Los Angeles (UCLA).
"Sebelum ini aku menunggu seorang pria untuk dicintai, orang yang mencintaiku. Selama berdekade-dekade, aku kira orang itu adalah ayahku. Saat aku berusia 25 tahun, aku bertemu dengan pria itu dan dia ternyata abangku," kata Simpson seperti dikutip Hollywood Reporter.
Saat itu (tepatnya tahun 1985), Simpson tinggal di New York, tengah menulis novel pertamanya dan bekerja untuk sebuah majalah beroplah kecil. Manakala seorang pengacara memberitahu dia bahwa mereka telah menemukan abangnya, Simpson dan koleganya menduga setengah bercanda bahwa pastilah pria itu John Travolta.
"Diam-diam aku berharap orang itu adalah penyair keturunan sastrawan Henry James, orang yang lebih berbakat dariku, orang brilian bahkan tanpa berbuat apa-apa," katanya.
Lalu mereka berdua bertemu. Berjalan bersama dan ternyata keduanya suka bekerja. "Saya tak ingat semua yang kami bincangkan di hari pertama (bertemu), yang kuingat dia itu bagai seorang teman. Dia menerangkan bahwa dia bekerja dengan komputer," kenang Simpson.
Simpson mengatakan ada beberapa hal yang dia pelajari dari Jobs. "Steve mengerjakan apa yang dicintainya. Dia bekerja keras sekali. Setiap hari. ... Dia kebalikan dari seorang perenung," katanya. "Dia tak pernah malu bekerja keras, sekalipun hasilnya kegagalan," ungkapnya.
Simpson juga mengenang masa di mana pertama kali Jobs ditendang dari Apple. "Dia bilang padaku soal satu acara makan malam di mana 500 pemimpin Lembah Silicon bertemu dengan presiden (AS). Steve tidak diundang," kata Simpson. "Dia sakit hati tapi dia kemudian tetap bekerja. Setiap hari," tuturnya.
Simpson juga menyebut Jobs "sangat loyal" dan bahwa dia akan membeli 10 sampai 100 pakaian yang ia suka. Dia mengungkapkan filosofi Jobs tentang estetika: "Fesyen adalah apa yang kini kelihatan indah tapi tampak buruk kemudian, sebalikanya seni bisa buruk di kali pertama tapi menjadi indah di kemudian waktu."
Simpson juga mengenang ketakjuban Jobs pada cinta. "Kapan pun dia melihat pria yang dipikirnya pasti wanita menganggapnya tampan, maka dia menyapanya, 'Hey Anda lajang ya? Maukah Anda makan malam dengan adikku?"
Simpson juga mengenang betapa Jobs adalah ayah ideal untuk anak-anaknya. Dan kendati dia sukses di umur yang amat muda, Simpson berkata "dia merasa prestasi itu mengurungnya."
Simpson mencatat sikap normal Jobs yang bertahan meski dia menghasilkan jutaan dolar AS, seperti menjemputnya dari bandara dengan memakai celana jeans.
Saudara perempuan Jobs ini juga mengenang masa-masa saat keluarga Jobs menata ulang dapurnya yang disebutnya menyita setengah waktu yang diperlukan untuk menuntaskan pembangunan gedung Pixar.
Simpson mengungkapkan bahwa Jobs pernah berkata bahwa jika dia tumbuh lain, maka dia mungkin akan menjadi ahli matematika dan mempelajari lukisan-lukisan Mark Rothko . Lalu kanker yang diderita Jobs dengan cepat merenggut hidup sang inventor.
"Pada akhirnya, bahkan kesenangan biasa pun, seperi buah persik nan ranum, tak lagi menariknya," kata Simpson. Perempuan ini bercerita tentang saat Jobs belajar mengenai bagaimana menyusuri lagi hidup setelah transplantasi hatinya, dengan kursi roda. Jobs menggaji 67 suster berbeda sebelum menemukan tiga diantaranya yang bersamanya sampai dia meninggal.
Tetap saja Jobs terus menelurkan ide untuk produk-produk potensialnya. "Yang aku pelajari dari kematian abangku adalah bahwa karakter itu sangat penting: Manusia mati meninggalkan nama. Selasa pagi, dia menyuruhku untuk bergegas ke Palo Alto.
Nada suaranya penuh kasih sayang, sayang, cinta, tapi seperti seseorang yang kopornya telah dikemas ke dalam mobil, yang telah siap di awal perjalanan, meskipun dia menyampaikan beribu-ribu maaf, akan meninggalkan kita semua," kata Simpson mengenai hari terakhir Steve Jobs.
"Ini yang aku pelajari: dia sukses untuk hal itu juga. Kematian tidak menimpa Steve, dia hanya mencapainya," kata Simpson mengenang pembicaraan telepon dirinya dengan Jobs Selasa beberapa waktu lalu. Di situ, Jobs mengiba pada Simpson untuk pergi ke rumah sakit Palo Alto di mana dia dirawat.
"Dia bilang padaku, saat dia mengungkapkan kata perpisahan dan memuntahkan kata maaf begitu rupa, bahwa kami tidak bisa hidup sampai tua bersama-sama sebagaimana dia selalu rancangkan, bahwa dia akan pergi ke sebuah tempat yang lebih baik," tuturnya.
Seluruh anggota keluarganya berada di sisi tempat tidurnya pada jam-jam terakhir kehidupannya. Dokter memberi Jobs kesempatan hidup 50-50 malam itu. Sebelum Jobs menyampaikan kata-kata terakhirnya, dia pandangi adik perempuan yang lain, Patty, lalu lama menatap anak-anaknya sendiri, kemudian partner hidupnya, Laurene, sampai semua yang hadir di situ.
Lalu, apa kata-kata terakhir Jobs? "Oh wow. Oh wow. Oh wow," kenang Simpson. JAKARTA - Mona Simpson, saudara perempuan Steve Jobs, membacakan kidung pepujian untuk pendiri Apple dalam upacara penghormatan jenazah sang investor besar itu pada 16 Oktober lalu di Universitas Stanford. Mona Simpson adalah juga novelis dan profesor pada Universitas California di Los Angeles (UCLA).
"Sebelum ini aku menunggu seorang pria untuk dicintai, orang yang mencintaiku. Selama berdekade-dekade, aku kira orang itu adalah ayahku. Saat aku berusia 25 tahun, aku bertemu dengan pria itu dan dia ternyata abangku," kata Simpson seperti dikutip Hollywood Reporter.
Saat itu (tepatnya tahun 1985), Simpson tinggal di New York, tengah menulis novel pertamanya dan bekerja untuk sebuah majalah beroplah kecil. Manakala seorang pengacara memberitahu dia bahwa mereka telah menemukan abangnya, Simpson dan koleganya menduga setengah bercanda bahwa pastilah pria itu John Travolta.
"Diam-diam aku berharap orang itu adalah penyair keturunan sastrawan Henry James, orang yang lebih berbakat dariku, orang brilian bahkan tanpa berbuat apa-apa," katanya.
Lalu mereka berdua bertemu. Berjalan bersama dan ternyata keduanya suka bekerja. "Saya tak ingat semua yang kami bincangkan di hari pertama (bertemu), yang kuingat dia itu bagai seorang teman. Dia menerangkan bahwa dia bekerja dengan komputer," kenang Simpson.
Simpson mengatakan ada beberapa hal yang dia pelajari dari Jobs. "Steve mengerjakan apa yang dicintainya. Dia bekerja keras sekali. Setiap hari. ... Dia kebalikan dari seorang perenung," katanya. "Dia tak pernah malu bekerja keras, sekalipun hasilnya kegagalan," ungkapnya.
Simpson juga mengenang masa di mana pertama kali Jobs ditendang dari Apple. "Dia bilang padaku soal satu acara makan malam di mana 500 pemimpin Lembah Silicon bertemu dengan presiden (AS). Steve tidak diundang," kata Simpson. "Dia sakit hati tapi dia kemudian tetap bekerja. Setiap hari," tuturnya.
Simpson juga menyebut Jobs "sangat loyal" dan bahwa dia akan membeli 10 sampai 100 pakaian yang ia suka. Dia mengungkapkan filosofi Jobs tentang estetika: "Fesyen adalah apa yang kini kelihatan indah tapi tampak buruk kemudian, sebalikanya seni bisa buruk di kali pertama tapi menjadi indah di kemudian waktu."
Simpson juga mengenang ketakjuban Jobs pada cinta. "Kapan pun dia melihat pria yang dipikirnya pasti wanita menganggapnya tampan, maka dia menyapanya, 'Hey Anda lajang ya? Maukah Anda makan malam dengan adikku?"
Simpson juga mengenang betapa Jobs adalah ayah ideal untuk anak-anaknya. Dan kendati dia sukses di umur yang amat muda, Simpson berkata "dia merasa prestasi itu mengurungnya."
Simpson mencatat sikap normal Jobs yang bertahan meski dia menghasilkan jutaan dolar AS, seperti menjemputnya dari bandara dengan memakai celana jeans.
Saudara perempuan Jobs ini juga mengenang masa-masa saat keluarga Jobs menata ulang dapurnya yang disebutnya menyita setengah waktu yang diperlukan untuk menuntaskan pembangunan gedung Pixar.
Simpson mengungkapkan bahwa Jobs pernah berkata bahwa jika dia tumbuh lain, maka dia mungkin akan menjadi ahli matematika dan mempelajari lukisan-lukisan Mark Rothko . Lalu kanker yang diderita Jobs dengan cepat merenggut hidup sang inventor.
"Pada akhirnya, bahkan kesenangan biasa pun, seperi buah persik nan ranum, tak lagi menariknya," kata Simpson. Perempuan ini bercerita tentang saat Jobs belajar mengenai bagaimana menyusuri lagi hidup setelah transplantasi hatinya, dengan kursi roda. Jobs menggaji 67 suster berbeda sebelum menemukan tiga diantaranya yang bersamanya sampai dia meninggal.
Tetap saja Jobs terus menelurkan ide untuk produk-produk potensialnya. "Yang aku pelajari dari kematian abangku adalah bahwa karakter itu sangat penting: Manusia mati meninggalkan nama. Selasa pagi, dia menyuruhku untuk bergegas ke Palo Alto.
Nada suaranya penuh kasih sayang, sayang, cinta, tapi seperti seseorang yang kopornya telah dikemas ke dalam mobil, yang telah siap di awal perjalanan, meskipun dia menyampaikan beribu-ribu maaf, akan meninggalkan kita semua," kata Simpson mengenai hari terakhir Steve Jobs.
"Ini yang aku pelajari: dia sukses untuk hal itu juga. Kematian tidak menimpa Steve, dia hanya mencapainya," kata Simpson mengenang pembicaraan telepon dirinya dengan Jobs Selasa beberapa waktu lalu. Di situ, Jobs mengiba pada Simpson untuk pergi ke rumah sakit Palo Alto di mana dia dirawat.
"Dia bilang padaku, saat dia mengungkapkan kata perpisahan dan memuntahkan kata maaf begitu rupa, bahwa kami tidak bisa hidup sampai tua bersama-sama sebagaimana dia selalu rancangkan, bahwa dia akan pergi ke sebuah tempat yang lebih baik," tuturnya.
Seluruh anggota keluarganya berada di sisi tempat tidurnya pada jam-jam terakhir kehidupannya. Dokter memberi Jobs kesempatan hidup 50-50 malam itu. Sebelum Jobs menyampaikan kata-kata terakhirnya, dia pandangi adik perempuan yang lain, Patty, lalu lama menatap anak-anaknya sendiri, kemudian partner hidupnya, Laurene, sampai semua yang hadir di situ.
Lalu, apa kata-kata terakhir Jobs? "Oh wow. Oh wow. Oh wow," kenang Simpson.
sumber : republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar